Saturday, August 2, 2008

SEBUAH PENGANTAR TENTANG TEORI PENGEMBANGAN DAN PENYUSUTAN INTERPRETASI AGAMA

Prolog

Dalam perjalanan panjang kita sebagai makhluk beragama, di sana ada keanekaragaman hal serta kejadian yang kita alami. Agama merupakan sebuah inti yang paling sakral yang ada dalam tubuh manusia. Kita tidak bisa memungkiri kinerja agama dalam kehidupan kita baik bermasyarakat maupun sampai pada hubungan kita dengan sang pencipta. Sekalipun di sana ada kaum atheis yang menganggap ketidak pentingan sebuah agama sebagai pemicu dan motor penggerak bagi kehidupan.

Jika kita memiliki agama, maka pastilah di sana ada yang namanya ilmu agama, yang mana dari ilmu agama tersebut akan lahir sebuah interpretasi. Agama dan ilmu agama merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan dari tubuh pemiliknya. Agama yang merupakan sebuah bentuk sakralisasi yang tidak bisa berubah, dan juga tidak mengalami interpretasi. Berbeda dengan ilmu agama yang temporal yang setiap saat bisa berubah sesuai dengan kondisi masyarakat serta perkembangan dunia. Bukan ilmu agama mengikuti dunia modernisasi, akan tetapi ilmu agama yang membentuk sebuah pola pikir, agar apa yang di sampaikan Tuhan melalui wahyu kepada para utusannya bisa diterima oleh semua kalangan dengan catatan tidak menghilangkan sebuah sakralitas agama itu sendiri.

Kita bisa menilai bahwasanya agama merupakan sebuah warisan terdahulu melalui utusan-utusan Tuhan yang terus berlanjut dan ada hingga kita sekarang. Banyak hal yang tidak ada dahulu timbul di zaman sekarang. Oleh sebab itu adanya sebuah interpretasi agama terasa perlu untuk kita kembangkan. Dalam syariah ditetapkan bahwasanya ada tiga hal atau tiga bagian yang dianggap sebagai hubungan antara zaman dahulu(yaitu pada zaman utusan Tuhan) dengan zaman kita sekarang. Pertama, apa yang di syariatkan dahulu juga di sayariatkan sekarang( dalam hal ini ada seperti rukun Islam dan kewajiban-kewajiban kita sebagai penganut agama Muhamad), Kedua, apa yang di syariatkan dahulu tidak di syariatkan sekarang( seperti perintah untuk memerangi kafir harbi, yang mana pada zaman dahulu hal tersebut sangat dianjurkan oleh nabi dikarenakan sebagian besar kaum kafir atau non Islam sangat membenci Islam, oleh karenanya ada sebuah perintah yang mewajibkan memerangi kaum kafir harbi yang menentang Islam, dan sekarang hal tersebut terhapus dengan perkembangan zaman dikarenakan sangat sulit ditemui, baik perorangan maupun kelompok kafir harbi, bahkan di negara kafir sekalipun) Ketiga, apa yang belum di syariatkan terdahulu ternyata di syariatkan sekarang, hal ini dikarenakan pada zaman utusan-utusan tersebut masalah yang ada sekarang belum ada dahulu( seperti masalah-masalah kontomporer yang kita hadapi, yaitu masalah perbankan, sewa menyewa, bayi tabung, kloning dan sebagainya, sehingga para ulama harus berkumpul dan berijtihad untuk menetapkan sebuah hukum yang benar dan bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat begitu juga tidak keluar dari batas-batas syariah yang sudah ditetapkan oleh kedua sumber yaitu Al-Quran dan al-Sunnah).[1]

Dalam masalah pengembangan dan penyusutan interpretasi agama, pikiran kita diajak berkeliling mengililingi sebuah bangunan konsep yang sudah ada, baik konsep tersebut sudah lumayan matang atau bahkan masih mentah sekalipun, yang mana kesemuanya itu masih membutuhkan sebuah interpretasi dan perubahan baik melalui pengembangan maupun penyusutan tersebut. Jika kita menelisik sebuah agama yang kita anut sekarang yaitu agama Islam, kita akan menyadari bahwa ia merupakan agama toleransi dan agama yang sama sekali tidak memberatkan umatnya. Islam merupakan agama yang lentur yang mana Allah mengirimkan sesuatu hanya untuk menyesuaikan dan meninggikan hak-hak makhluknya. Tidak ada keputusan agama yang bertujuan untuk merusak hal apapun di dalamnya. Agama yang merupakan sebuah kesucian begitu mendukung adanya perbaikan yang dianggap sebagai perkembangan ilmu agama di luar tidak mengganggu dan menghilangkan sakralitas serta kesucian sebuah agama.

Dari kebenaran-kebenaran dan kuasa Tuhan akan sebuah wahyu yang di turunkan kepada para utusannya, dan dari sakralitas serta kesucian agama begitu juga berangkat dari sifat ilmu agama yang temporal yang dirasa sangat perlu untuk mengadakan sebuah perkembangan hal yang dianggap kurang dan belum memadai, serta penyusutan beberapa hal yang dianggap perlu demi keberlakuan ilmu agama yang sesuai dengan kehidupan masyarakatnya dengan tetap pada ketentuan Tuhan yaitu agama.

Dalam kajian pengembangan dan penyusutan interpretasi agama, penulis akan membahas beberapa bahasan yang dirasa cukup dan memadai dengan pembahasan tersebut. Pada bab pertama setelah prolog, di sana akan di ajak memaknai sebuah teori al-Qabth wal basth itu sendiri, sedangkan pada bab kedua akan lebih mengenal sebuah teori al-Qabth wal basth dalam masalah syariah, pada bab ketiga akan diajak lebih dalam lagi tentang bagaimana pandangan ulama klasik dan kontemporer tentang teori tersebut, yang mana teori tersebut digulirkan oleh seorang cendekiawan muslim liberal Iran kontemporer yaitu Abdul Karim Soroush, dan pada bab terakhir sebelum epilog, penulis akan mengedepankan sebuah kritik dari teori pengembangan dan penyusutan. Banyak hal yang melatarbelakangi dan mendukung bahkan menjatuhkan teori ini, akan tetapi teori pengembangan dan penyusutan dirasa sangat perlu untuk dibahas eksistensinya dalam kehidupan beragama dan peranannya terhadap ilmu agama itu sendiri.

MAKNA TEORI Al-QABATH WAL BASTH

Jika kita menelisik lebih jauh lagu tentang teori ini, maka di sana akan banyak hal yang di angkat oleh Abdul Karim Soroush yang mana ia merupakan penggulir teori epistemologi ini. Jika kita memahami syariah secara umum di sana akan terbukti adanya sebuah kebenaran yang sesuai dengan pepamahaman manusia. Akan tetapi jika memahami syariah sebagai sebuah tuntutan agama yang dianggap sebagai pengetahuan agama dan pemahaman manusia secara terperinci, di sana akan menemukan sebuah hal yang menganggap eksistensi dari teori ni. Dikarenakan syariah merupakan suatu hal yang tetap akan tetapi pemahaman manusia tentangnya yang seringkali mengalami perubahan. Seperti contohnya dalam syariah terdapat sebuah pertanyaan “Apa saja hak-hak seorang wanita?” dari sini apakah agama membicarakan sebuah seni bagaimana caranya menyikapi wanita dan hak-haknya dan apa pula macam-macam dari hak tersebut? Dari sinilah sebuah epistemologi di rasa perlu untuk mengembangkan sebuah interpretasi ilmu agama agar agama tidak mengalami ketimpangan, dan supaya agama tidak cacat, akan tetapi bagaimana caranya agama bisa sempurna dan setidaknya maksud dan tujuan Tuhan dalam syariahnya bisa di terima oleh semua lapisan. Dalam hal ini agama hanya menggulirkan sebuah bola yang mana teknik bagaimana penyerangan dan penaklukan lawan diserahkan kepada akal yang sekalipun akal kita tidak mengalami kesempurnaan, akan tetapi dari akallah kita bisa memilah dan memilih maksud dari tujuan dan ketentuan Tuhan dalam wahyunya.[2]

Kita juga tidak bisa memungkiri adanya sebuah keotentikan syariah sebagai ajaran agama, dan kita juga tidak memungkiri keotentikan dua sumber yang dijadikan pedoman oleh agama sebagai petunjuk bagi pengetahuan manusia memahami agama yaitu al-Quran dan al-Sunnah, karena di sana juga ada beberapa hal yang dianggap tidak perlu mengadakan sebuah interpretasi di karenakan sifatnya yang mutlak dan tidak bisa di ganggu gugat, dan dikarenakan hal-hal tentangnya sudah di bahas jelas dalam kedua sumber yang di perintahkan nabi sebagai pegangan umatnya jika mereka terserat. Seperti halnya keberadaan manusia, manusia punya hak dan kesempatan untuk memilih, dalam hal ini sudah dirasa mutlak tanpa adanya interpretasi kembali, dikarenakan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai akal pikiran setidaknya bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah, dan juga manusia bisa menentukan suatu hal yang harus dan perlu serta hal yang tidak penting untuk dilakukan.

Begitu juga dengan keberadaan bumi yang kita tempati sekarang, bahwasanya bumi tetap dan ia tidak akan berubah sebelum masa perubahan itu datang. Hal ini sudah jelas di bahas dalam al-Quran dan Sunahnya dan tidak ada satu pemahaman di dalamnya yang

menganggap hal ini perlu untuk di interpretasi, dan jika ada pemahaman manusia yang menuntut untuk merubah pengertian ini, maka apa yang dia lakukan sudah bisa dikatakan keluar dari wahyu Tuhan dan ajaran utusannya, dan bisa dipastikan bahwa interpretasi pemahaman manusia tersebut termasuk interpretasi yang salah. Seperti halnya para ulama terdahalu tidak ada yang bersengkata masalah pemahaman mereka tentang sebuah penafsiran dari tujuh langit yang dibahas dalam al-Quran dan juga pernah dilalui nabi sebagai utusannya pada malam isra’ dan mi’raj. [3]

Pengetahuan manusia memang merupakan sebuah pengetahuan yang tidak pasti dan kadang sulit diterima, oleh karenanya setiap hal keputusan atau fatwa yang lahir dari pemahaman manusia selayaknya harus di sesuaikan dan diserasikan dengan pemahaman agama yang benar, karena bagaimanapun juga agama merupakan sumber kebenaran yang berasal dari Tuhan. Oleh karenanya teori epistemologi yang mana berasal dari ilmu-ilmu serta pemahaman manusia tentang ilmu agama harus di sesuaikan dan disejajarkan dengan pemahaman agama sebagai sumber dari interpretasi ilmu agama. Dan diharapkan di sana tidak adanya sebuah pertentangan yang di hasilkan oleh menusia dengan pemahaman agama, dan jika apa yang dihasilkan manusia mengalami ketimpangan atau bahkan bertentangan dengan maksud agama yang berasal dari wahyu Tuhan, maka diharapkan bagaimana caranya untuk sampai pada kesesuaian antara keduanya.

Oleh karenanya dalam kehidupan manusia selaku umat beragama, di sana ada dua hal yang melatarbelakangi sebuah teori, sebagaimana penulis bahas di atas, bahwasanya agama yang merupakan aturan Tuhan yang tetap dan tidak bisa berubah akan tetapi di sana ada ilmu agama yang senantiasa membutuhkan interpretasi akan sesuatu dan penafsiran pemahaman manusia sehingga menjadikan agama yang tetap itu menjadi sempurna dengan pengembangan pemahaman yang lahir dari pemahaman manusia dan perubahan ilmu agama. Contohnya, dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, kita membutuhkan hal-hal pembantu untuk melancarkan kehidupan dan perjalanan kita sebagai makhluk sosial. Dari sini kita bisa melihat bahwa “Apakah dalam syariah ada sebuah pembahasan tentang teknik begitu juga pembahasan tentang pembagian filsafat sejarah?”, penulis pikir pembahasan tentang semua ini hanya bisa didapatkan dari interpretasi manusia terhadap sesuatu yang ada, oleh karena syariah tidak menyentuh sesuatu yang dirasa perlu dilahirkan oleh manusia sebagai pembantu kehidupan selanjutnya, dan jika dikaji dengan hubungan agama sebagai motor penggerak bagi manusia, interpretasi tersebut besar kaitannya dengan agama, karena agama tanpanya akan dirasa timpang dan kurang. Agama yang kita kenal yang dianggap membahas semua gerak-gerik dan perlakuan manusia mulai dari yang terkecil sampai pada tingkat teratas, padahal ia hanya menyediakan kunci dan bagaimana cara membukanya adalah manusia sebagai makhluk yang dikarunia akal dan keluasan berpikir, yang juga dikaruniai akal sebagai petunjuk dan kelanjutan kehidupan mendatang.[4]

Kita tidak bisa menafikan sebuah agama yang merupakan kesucian dan sebuah kebenaran yang abstrak, akan tetapi kita tidak bisa menganggap ilmu agama sempurna di karenakan ada beberapa hal yang harus kita tafsirkan sendiri dari apa-apa yang digulirkan agama, dengan catatan penafsiran tersebut tetap bersumber pada ketetapan Tuhan dan ketetapan utusannya. Banyak hal yang lahir dari rahim agama yang dianggap sebuah kebenaran hakiki, akan tetapi banyak hal juga yang lahir dari rahim agama yang di tafsirkan sebagai sebuah kesalahan. Kita tidak bisa menganggap agama dengan anggapan kedua, dikarenakan sebagaimana penulis ungkapkan bahwasanya ia merupakan sebuah kesucian dan kebenaran, dan jika ada manusia yang menentang keputusan agama, maka keputusan pemahaman manusia tersebut hanya bersifat hipotesa atau sekedar kemungkinan-kemungkinan yang di keluarkan, oleh karenanya harus diadakan sebuah penyesuaian dengan kebenaran mutlak agama.

Oleh karenanya kenapa para kaum revivalis agama merasa perlu untuk mencari rantai itu kembali, dan dari teori pengembangan dan penyusutan ini mereka merasa menemukan sesuatu yang pernah hilang, sesuatu yang dianggap kaum revivalis dan para reformis masa lampau bisa membedakan antara agama dan ilmu agama, dan perlu di garis bawahi bahwasanya interpretasi kaum revivalis hanya terletak pada interpretasi ilmu agama dan bukan agama itu sendiri. Dahulu, mereka merasa kehilangan sebuah asumsi bahwasanya ilmu agama merupakan perpaduan pengetahuan-pengetahuan yang lahir dari pemahaman manusia, dan dari kelalaian tersebut menjadikan inkonsistensi yang signifikan dalam penilaian mereka dan hilangnya solusi yang diharapkan. Dari tujuan mereka adalah di karenakan apa yang ada di rasa stagnan dengan apa yang terjadi, oleh karenanya mereka ingin mendamaikan kebakaan dan kefanaan baik dalam segi ukhrawi maupun duniawi, membedakan yang konstan dan yang varian, mengadakan kembali fatwa hukum agama yang inovatif, mencari fuqaha yang berani serta menyegarkan kembali yurisprudensi agama, yang mana mereka berniat merubah kulit luar yaitu ilmu agama akan tetapi tetap memelihara dan mempertahankan ruh agama itu sendiri. Dari sini pulalah ada sebuah tujuan untuk mengenalkan Islam dengan perkembangan kontemporer serta membangun teologi baru Islam. [5]

Dari teori yang dilancarkan soroush, yaitu teori pengembangan dan penyusutan ilmu agama sangat cocok dengan upaya kaum revivalis agama dan reformis masa lampau, dan dengan adanya teori ini pula mereka merasa ada titik terang akan cita-cita mereka tentang ilmu agama dan pembedaannya dengan agama.

TEORI AL-QABTH WAL BASTH DALAM SYARIAH

Syariah merupakan suatu hal yang berasal dari Tuhan, hal ini juga dinyatakan oleh Muhamad Hasan Amin ketika dia menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan tentang sasaran sebuah permasalahan, yang mana dia ketika itu membedakan keistimewaan antara keduanya yaitu antara syariah dan fiqh, yang mana jika keduanya diadakan sebuah percampuran maka akan menghasilkan sebuah kemodharatan dalam pemikiran baik dalam segi akidah maupun tujuan-tujuan yang akan dicapai. Syariah baginya merupakan persoalan yang berasal dari Tuhan, sedangkan fiqh merupakan pemahaman dan pandangan dari sebuah permasalahan Tuhan tersebut, oleh karenanya fiqh memungkinkan adanya sebuah pergantian dan peredaran dengan jalan ijtihad dan mengambil kesimpulan-kesimpulan dari permasalahan yang ada dan akhirnya akan di tarik sebuah konklusi dampak positif dan negatif dari permasalahan tersebut, dari sanalah kenapa fiqh juga termasuk sebagai pemahaman manusia yang seringkali bisa mengalami kesalahan dan tidak bisa dipungkiri juga akan adanya sebuah kebenaran, dan dari pemahaman manusia inilah sehingga menganggap presentasi fiqh akan senantiasa berubah sesuai pemahaman manusia yang ada. Dan dari sini pulalah yang tidak memungkinkan fiqh untuk memisahkan diri dari keputusan para fuqaha secara keseluruhan, karena dari keputusan itulah perkembangan fiqh bisa dipertanggungjawabkan eksistensi dan kebenarannya.[6]

Dan juga dijelaskan oleh as-Sayid Amin bahwasanya cakupan ilmu fiqih tersebut lebih luas dan lebih banyak, dikarenakan menurutnya cakupan fiqh islami tersebut merupakan sebuah cakupan kehidupan, kehidupan manusia sangatlah luas dan segala yang berhubungan dengannya sudahlah pasti juga sangat luas, oleh karena itu cakupan ilmu fiqh lebih luas dikarenakan fiqh sangat erat kaitannya dengan kehidupan.[7]

Jika kita mendalami secara mendalam dari makna teori al-qabth wal basth, maka di sana kita akan menemukan hubungan yang mendasar dengan istilah-istilah usul fiqh seperti istihsan dan mashâlih mursalah. Kita ketahui bahwasanya tujuan teori pengembangan dan penyusustan interpretasi agama hanya semata-mata ingin memperbaiki agama dari kefanaan dan menjadikan agama benar-benar menjadi sesuatu yang sakral dengan keberadaan ilmu agama yang sempurna pasca interpretasi, dan juga tidak lain hanya untuk memudahkan para pemeluk agama agar apa yang mereka lakukan senantiasa bisa benar-benar mengarah kepada wahyu Tuhan yang mana tidak ada wahyu Tuhan diturunkan untuk menyusahkan umatnya apalagi membuat pengikutnya celaka, melainkan hanya ingin menjadikan sebuah kehidupan yang penuh dengan kemaslahatan dan kebaikan, dari tujuan dan keinginan teori epistemologi ini sejalan dengan istihsan yang mana sebuah keputusan diambil dengan memperhatikan kebaikan dalam segala segi, begitu pula dengan mashâlih mursalah yang mana keputusan diambil hanya untuk kemaslahatan bersama[8], seperti halnya pada masa Umar ketika ada seorang sahabat yang mencuri dan qishas pada waktu itu adalah potong tangan, dikarenakan khalifah Umar memperhatikan kemaslahatan bersama akhirnya qishas potong tangan tersebut digagalkan dikarenakan sahabat yang mencuri mempunyai alasan pada saat itu keadaan kehidupan masyarakat sedang dilanda kekurangan atau dengan sebutan, zaman paceklik(kesulitan bahan makanan), dari sini kewajiban bisa digagalkan untuk sebuah maslahah.

Agama jauh lebih sempurna daripada ilmu agama, dan bisa dipastikan bahwasanya secara garis besar teori epistemologi menyatakan bahwasanya sesuatu tersebut lebih sempurna dibandingkan ilmu terhadap sesuatu. Syariah merupakan kumpulan rukun-rukun, asas-asas dan segala sesuatu yang di turunkan Tuhan kepada nabi yang mana dari nabi di turunkan kepada para ulama yang akan menjaga dan mempertahankan sunahnya. Sedangkan pengetahuan ilmu agama merupakan pemahaman manusia yang bertujuan semata-mata untuk pembenaran syariah. Syariah menurut pemahaman umat Muhamad adalah suci, murni, lengkap yang berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan, yang mana kesemuanya tersebut sangat jauh dari kesalahan dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan ia juga merupakan suatu yang tetap serta kekal yang tidak membutuhkan akal maupun pengetahuan manusia sekalipun dan tidak ada yang bisa merasakan kesucian dan kemurnian syariah kecuali bagi mereka yang hatinya benar-benar suci menerima perintah Tuhan. Hal ini berbeda dengan pemahaman syariah, ia sama sekali tidak memiliki sifat-sifat sebagaimana dimiliki syariah itu sendiri. Pemahaman syariah bisa berubah dan tidak mengalami kekekalan, begitu juga tidak ada kebenaran mutlak di sana, setiap interpretasi dari pemahamannya bisa terjadi dengan segala kemungkinan dikarenakan ketidak mutlakan pemahaman tersebut. Oleh karenanya teori ini menginginkan keselarasan antara syariah dan pemahaman syariah, dengan jalan menyelaraskan pemahaman syariah yang tidak sempurna menjadi sempurna dan sebagainya, sehingga akan ditemukan keselarasan antara syariah yang suci, lengkap, dan menyatu begitu juga dengan pemahaman syariah.

Syariah tidak membutuhkan pemahaman dan pengertian apapun, ia juga tidak membutuhkan adanya pengertian lain begitu juga ia tidak membutuhkan pertentangan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengannya, berbeda dengan pemahaman tentangnya yang seakan-akan selalu bercampur dengan pengertian lain, ataupun dengan pengetahuan dan pemahaman berbeda, dan di sana juga seringkali adanya sebuah pertentangan dan pertikaian yang disebabkan oleh pemahaman yang ada. Sebagaimana banyak kita menemukan seorang ulama yang seringkali salah dalam interpretasi mereka tentang pemahaman sebuah ilmu agama, berbeda dengan syariah yang sampai kapanpun tidak akan mengalami kesalahan disebabkan kesucian dan kemurniannya.[9]

Sebenarnya syariah itu sendiri akan diam kecuali jika ia ditanya tentang sesuatu, maksudnya, syariah tidak akan menuntut umatnya untuk memperbaiki pemahaman syariah tentangnya kecuali jika di antara mereka sendiri yang tergugah hatinya untuk memperbaiki pemahaman syariah yang benar sesuai dengan kebenaran syariah yang ada. Jika manusia menganggap apa yang mereka lakukan sudah lebih dari cukup, maka syariah tidak akan mengutarakan maksud dari hal sebenarnya yang terkandung dalam dirinya, akan tetapi jika manusia agresif tentang sebuah pembaharuan pemikiran ke arah sakralitas dan kesempurnaan agama, di sana pasti akan menemukan kebakaan syariat yang sebelumnya belum pernah dirasakan.

Masih banyak lagi yang memungkinkan teori ini tetap eksis salah satunya jika manusia tetap berdiam mengikuti hal-hal yang dianggap telah sempurna padahal sangat-sangat jauh dari kesempurnaan ilmu agama itu sendiri, padahal di sini sangat di rasa perlu untuk memperbaiki dan memperbaharui pemikiran manusia tentang pemahaman syariah yang selama ini tetap terdiam, oleh karenanya teori epistemologi ini juga menekankan istilah at-Taqlid wa at-Tajdid, yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah bagaimana caranya manusia mendobrak kebiasaan menerima sesuatu dan mengikutinya tanpa ada keinginan untuk merubah menuju ke arah yang lebih sempurna dengan cara tajdid ataupun dengan jalan menciptakan sesuatu yang baru. Hal ini dilakukan oleh Syeikh al-Anshori dan sahabatnya yang mana ia mengadakan perombakan dalam ilmu kalam dan ushul fiqh, dari sana ia mencoba menyibak lautan dan mencoba menemukan mutiara-mutiara yang selama ini tenggelam dan bahkan tidak diketahui keberadaannya, dari sini ia mencoba mencari dan mengasah mutiara-mutiara tersebut

PANDANGAN ULAMA KLASIK DAN KONTEMPORER TENTANG TEORI AL-QABTH WAL BASTH

Setiap permasalahan yang baru digulirkan pasti mengalami perdebatan dan perbedaan pendapat tentangnya. Hal ini lumrah dan normal-normal saja dikarenakan memang setiap manusia mempunya pemikiran dan interpretasi sendiri terhadap sebuah masalah, oleh karena letak pemahamah manusia yang beragam dan tidak bisa dipastikan kebenaran dan kesalahannya, dan dikarenakan setiap segala sesuatu yang yang lahir dari interpretasi manusia bukan sebuah hal yang sakral dan bukan berasal dari Tuhan, jadi kebenaran segala sesuatunya nisbi atau relatif. Begitu juga dengan teori epistemologi ini yang mana ia lahir dari seorang cendekiawan muslim liberal Iran kontemporer yang sejalan dengan upaya dan tujuan kaum revivalis agama untuk terus membangkitkan agama dan terus menyegarkan agama kembali. Akan tetapi upaya kaum revivalis akan cita-citanya terhadap upaya perbaikan agama dengan jalan perbaikan interpretasi manusia akan ilmu agama, banyak sekali pertanyaan yang di gulirkan kepada mereka oleh para ulama, dan dimanapun mereka berada senantiasa akan selalu dikejar dengan pertanyaan yang mungkin sangat mengusik: seperti, apa sebenarnya klaim dan tujuan mereka akan semua ini? Sebagaimana mereka katakan bahwasanya agama mengalami “kecacatan”, sebenarnya kecacatan dalam hal apa yang ditimbulkan agama sehingga membutuhkan perbaikan? Dan apapula yang di usulkan serta dicetuskan kaum revivalas dalam mengatasi kecacatan tersebut?

Banyak pandangan tentang teori ini, dikarenakan tidak semua dari mereka yang percaya akan kesalahan interpretasi sebuah ilmu agama seperti yang di ungkapkan kaum revivalis agama, dari mereka terus mencari celah kesalahan teori ini, kalau memang agama yang mereka anggap sebagai sebuah kesalahan, mengapa mereka masih mau mengikuti agama sampai sekarang? Mengapa muncul ambisi penyempurnaan, membangkitkan kembali, dan memulihkan syariat sebagai tanggung jawab yang hanya layak diperankan oleh mereka para utusan Tuhan bukan para pemimpin? Dan lagi pula kenapa Cuma mereka yang menyadari akan kecacatan-kecacatan, kesalahan-kesalahan, ketimpangan-ketimpangan, dan kekurangan-kekurangan agama? Sedangkan masih banyak para pendahulu yang tidak mempermasalahkan hal ini dan mereka tetap menjalaninya sebagai perintah Tuhan yang lahir sebagai ajaran yang benar. Akhirnya, hal memperbaiki agama hanya menyisakan sebuah kata “betapa beraninya” mereka yang menganggap agama yang di turunkan Tuhan sebagai kekosongan yang harus disempurnakan oleh akal yang mana akal sendiri tidak sempurna dan pemahaman manusia sangat relatif, memungkinkan terjadi kebenaran dan bahkan kesalahan.[10]

Ungkapan-ungkapan dan pertanyaan-pertanyaan di atas hanyalah bagi mereka yang tidak memahami perbedaan dan pemahan agama dan ilmu agama. Mereka(penentang kaum revivalis) mencampur adukkan antara agama dan ilmu agama, padahal jika keduanya di campur aduk tanpa ada batasan, hal itu jelas tidak di benarkan adanya, dikarenakan agama yang sifatnya suci dan sakral tidak bisa dicampur dengan ilmu agama yang sifatnya temporal dan sewaktu-waktu bisa berubah, dan ilmu agama juga belum sempurna dan masih membutuhkan interpretasi penyempurnaannya agar mampu membawa peran agama bagi kehidupan.

Jika pemakaian syariah sesuai di segala zaman dan dalam keadaan serta kondisi yang seperti apapun, berarti ia juga sesuai dengan zaman kita sekarang, termasuk juga di dunia Arab maupun non Arab, dan kita ketahui bahwasanya di negara Arab tidak ada pelaksanaan syariah selain syariah Islam.

Akan tetapi bagaimana kita menyesuaikan syariah dengan zaman kita sekarang yang mana sudah banyak perubahan dalam segala segi, baik segi ekonomi, masyarakat, aturan negara, dan lain sebagainya. Seperti dalam segi ekonomi, kita banyak menemukan perubahan-perubahan yang signifikan dari ekonomi syariah terdahulu dengan sekarang, sebagaimana tata cara belanja di pasar, perbankan, sewa menyewa dan lain sebagainya. Hal ini perlu kita perhatikan dan juga perlua adanya sebuah interpretasi, agar syariah benar-benar sesuai dengan zaman kita sekarang tanpa keluar dari batas-batas ketentuan Tuhan dan utusannya. Begitu juga dalam masalah sosial, kita mengenal bahwasanya pada zaman dahulu seorang wanita seakan-seakan sangat sulit untuk keluar rumah dikarenakan banyak bahaya yang di dapat jika seorang wanita bergerak bebas menuju tatanan feminisme, akan tetapi pada masa sekarang, kita seorang wanita di tuntut untuk berkiprah setidaknya paling sedikit di kalangan kita sesama wanita, dan juga banyak juga dari para wanita yang “singel parent”, yaitu mempertahankan dan menghidupi diri serta keluarganya sendiri dikarenakan satu dan lain hal. Dari semua ini, pemahaman syariah masa lalu tidak bisa lagi untuk kita interpretasikan sejalan dengan kemarin, akan tetapi bagaimana pemahaman tersebut di interpretasikan sesuai dengan keadaan dan kondisi masyarakat serta perekonomian sekarang, dengan tetap kembali pada syariat tuhan dengan pemahaman yang benar serta pelaksanaan yang benar.[11]

KRITIK TEORI PENGEMBANGAN DAN PENYUSUTAN INTERPRETASI AGAMA

Segala sesuatu yang berasal dari manusia sudah barang tentu semuanya belum pasti dan masih debatable, selalu ada perbedaan di sana, perbedaan yang tidak bisa dipungkiri karena adanya membuat dunia berwarna. Begitu juga dengan epistemologi pengembangan dan penyusutan interpretasi agama, di sana ada kekurangan yang mungkin dianggap mereka sebagai batu loncatan menuju kesempurnaan. Dalam segi pembahasan, epistemologi ini sudah lebih dari cukup dikarenakan tidak hanya terfokus pada fiqhul Islami dan hal-hal yang berhubungan dengan fiqh, akan tetapi di sana juga ada pembahasan tentang filsafat ilmu pengetahuan. Yang mana pada umumnya interpretasi yang di hasilkan dari pemahaman agama adalah interpretasi yang tidak menafikan adanya pengaruh ilmu-ilmu lain terhadap pemahaman agama tersebut, dikarenakan setiap ilmu besar kaitannya dengan yang lain, sebagaimana teologi erat hubungannya dengan syariah begitu juga dengan filsafat dan ilmu kalam, akan tetapi pendapat yang dikemukakan soroush cenderung nisbi atau relatif, dan bisa dikatakan bahwa kebenarannya diragukan, hal ini dikarenakan ia mencoba mendobrak agama yang menurutnya stagnan dan perlu mengalami perubahan. Agama yang menurut kaum revivalis fana dan baka yang membutuhkan pencerahan. Dan juga di karenakan agama merupakan tanggung jawab orang banyak begitu halnya dengan interpretasi terhadap pemahamannya. Karena agama merupakan hal yang sakral dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, oleh sebab itu jika masalah tentangnya di usik, maka semua lapisan masyarakat akan betul-betul menuntut kebenaran dan keotentikan sebuah interpretasi.

Sebenarnya kritik yang dilancarkan terhadap epistemologi soroush lumayan banyak, hal ini disinyalir kritikan dari Syeikh Shodik Larijani dalam beberapa buku yang ia tulis, sebagaimana juga oleh Abdullah Nashri dan Syeikh Ahmad al-Waidzi.

EPILOG

Bagi penulis, tiada yang sempurna selama ia berasal dari manusia. Begitu juga dengan teori ini, seringkali kebenaran dan kesalahan selalu mewarnainya. Semoga kita bisa menghargai perbedaan, karena dari perbedaan kita lahir dan dari perbedaan pulalah kita berkembang.

Perjalanan panjang yang melelahkan. Itulah ungkapan yang pas untuk akhir tulisan ini. Kenapa melelahkan? Karena lahirnya membutuhkan usaha sekuat tenaga agar bisa terus konsentrasi di tengah kegalauan hati yang setiap hari semakin tak menentu. Kegoncangan perasaan yang setiap saat membutuhkan sandaran untuk terus berdiri. Perjalanan panjang, karena ia lahir dari kontemplasi dan perenungan yang penuh arti dan tanpa berhenti. Kata memang indah, karena dari rangkaiannya bisa menghasilkan sebuah makna. Semoga rangkaian kata-kata sebagai bentuk interpretasi dan pemaparan epistemologi senantiasa lebih bermakna dan sesuai harapan. Sehingga apa yang ditulis mampu menggugah perasaan dan pikiran, dan bisa menghasilkan pemikiran yang berguna bagi perkembangan Islam mendatang. Tiada kata yang terucap kecuali Alhamdulilah ke hadirat-Nya. Selamat berdikusi dan selamat menyantap hidangan yang sangat sederhana. Dengan harapan, ia yang sederhana, akan tetapi mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran spektakuler.Amin.

Nurul fajariyah Abbasi

Islamic Law Faculty of el-Azhar Univercity Cairo



[1] Lihat: As-Syeikh Muhamad Hadlori, Târikh Tasyri’ al-Islâmi, Maktabah Tijariyah Kubra Cairo, Cet IX Thn: 1390H/1970 M, hal: 20

[2] Lihat: Abdul Karim Soroush, Al-Qabath wal Basth f îs Syarîah, Dar al-Jadid Beirut Lubnan, cet. I tahun 2002, hal: 251

[3] Ibid. hal: 252

[4] Ibid. hal: 251

[5] Lihat: Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi agama, Penerjemah Abdullah Ali, Penerbit Mizan, Bandung, Cet I thn: 2002, Hal: 41

[6] Lihat: Muhamad Mahdi Syamsuddin et.al, Tahdîr wa Hiwâr Abdul Jabbar ar-Rifai, Maqâsid Syarîah, Dâr el-Fikr al-Ma’âshir Beirut Lubnan, cet II, thn 1426H/2005M, hal: 11

[7] Ibid. hal: 11

[8] Lihat: Dr.Wail Hallaq, Tarikh Nadzariyât al-Fiqhiyah Fil Islam(Muqadimah Fî Ushul Fiqh as-Sunni), Dar el-Midâr al-Islami Libiya, cet I Juni 2007, hal: 148&153.

[9] Abdul Karim Soroush, al-Qabth wal Basth fis Syariah, op.cit.hal: 31

[10] Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, op.cit.hal: 41

[11] Lihat: Dr.Yusuf Qardlawi, Madkhol Lidirâsati Syarîah al-Islâmiyah, Maktabah Wahbah Kairo, Cet V thn 1426H/2005M, hal: 271

0 comments:

Blognya Ria Dunia Ria | Tanks To Blogger