Prolog
Perjalanan hidup manusia layaknya sebuah kapal yang akan selalu berbenturan dengan realita. Tak jarang realita tersebut membutuhkan banyak energi sehingga memaksa kita untuk terus bertahan di tengah-tengah badai. Badai dan ombak senantiasa menemani langkah perjalanan kehidupan. Oleh karena pentingnya ilmu pengetahuan sebagai penuntun bagi manusia agar tidak buta menghadapi kerasnya hidup.
Kalau ditinjau dari segi gramatikalnya, maka filsafat itu merupakan disiplin ilmu yang telah ada dan berkembang mulai manusia mengenal Tuhan. Karena maksud dari filsafat itu sendiri bisa diartikan sebagai cara atau alat dalam mengenal Tuhan. Sekalipun di sana Ibnu Arabi mengartikan filsafat sebagai ilmu atau jalan untuk lebih mengenal Tuhan dari bentuk yang nyata( wujud), sedangkan ilmu kalam menurutnya merupakan jalan untuk mengenal Tuhan dari segala segi yaitu sifat-sifat Tuhan secara mendalam. Itulah pernyataan Ibnu Arabi ketika dia mengkorelasikan antara ilmu kalam dan filsafat.
Jadi, jika memaknai filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu, maka hukum mempelajarinya adalah wajib sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Akan tetapi jika memaknai filsafat sebagai sebuah bentuk pola pikir, maka dalam mempelajarinya harus bisa memilah dan memilih serta mengkondisikan dengan nilai keimanan yang ada. Karena pola pikir lebih mengedepankan logika akal daripada teks al-Quran atau hadis.
Sebagaimana Mu’tazilah yang menganggap bahwa tidak perlu ada nabi dan rosul sebagai utusan Tuhan kepada manusianya, dikarenakan ia memakai akal sebagai inti dari semua perbuatan. Bagi Mu’tazilah akal sangatlah cukup dalam menuntun perjalanan manusia. Jika bagi akal baik maka hal itu akan pasti ditinggalkan. Dan jika bertentangan dengan akal maka barang tentu akan menolaknya. Jadi apa arti seorang utusan jika akal bisa mengorder semuanya.[1] Begitu pulalah Mu’tazilah menganggap filsafat sebagai cara kerja akal dalam memahami keesaan Tuhannya
Kenapa penulis menyandingkan antara filsafat sebagai disiplin ilmu dengan filsafat sebagai pola pikir? Karena dari sanalah mungkin kita mengenal dan mendengar tentang filsafat. Filsafat sebagai disiplin ilmu dikarenakan ajarannya yang menyuruh kita untuk berpikir lebih dalam tentang Tuhan itu sendiri yang merupakan wihdatul wujud, dan ilmu filsafat tersebut erat kaitannya dengan ilmu tauhid. Yang mana cukup jelas bagi kita bahwasanya tauhid merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang keesaan Tuhan dan keimanan kepadanya. Dari sini sudah cukup jelas bahwasanya filsafat sebagai disiplin ilmu tidak perlu lagi diperdebatkan, karena ilmu yang mengarah pada pembentukan keimanan dan penguatan hati merupakan ilmu yang menuntun kita untuk lebih memaknai kehidupan dunia yang fana menuju akhirat yang
kekal.
Akan tetapi kalau kita memantau, memperhatikan dan bahkan menyimpulkan bahwasanya filsafat sebagai pola pikir. Dalam hal ini mempelajari apalagi mendalaminya diharapkan disesuaikan dengan kemampuan daya pikir dan tingkat pendekatan diri pada-Nya. Karena banyak kelompok yang memiringkan makna filsafat itu sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu yang membawa kita lebih dekat kepada sang kholiq.
Dalam makalah kali ini penulis akan memaparkan perbandingan filsafat Islam klasik dengan kontemporer. Yang mana filsafat Islam klasik merupakan sejarah awal perjalanan filsafat Islam, yang darinya ia sempat menjadikan Islam sebagai kiblat keilmuan dalam bidangnya, yaitu pada masa keemasan filsafat Islam klasik pada masa mulai dari al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina.
Filsafat pada masa Islam merupakan filsafat abad pertengahan karena filsafat telah di awali oleh Aresto dari Yunani. Dan fase setelah Islam merupakan perjalanan filsafat kontemporer.
Filsafat Islam Klasik vs Filsafat Islam Kontemporer
Kita ketahui bersama bahwasanya filsafat di bagi tiga periode, periode pertama yang merupakan awal munculnya filsafat yaitu berasal dari Yunani, karena di sana terdapat beberapa orang yang cenderung menggunakan otak sebagai landasan berpikir. Tokoh-tokohnya seperti Socrates, Plato dan Aresto.
Periode kedua yang merupakan masa pertengahan adalah filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai berkembang pada masa al-Kindy pada tahun 1985, yang mana menurut Sulaiman Hasan bahwasanya tidak ada seorangpun filosof Islam kecuali al-Kindi, karena baginya ia merupakan seorang filosof pertama dalam Islam begitu juga merupakan filosof Arab pertama. Dalam pengembangan filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah Aresto. Hal itu bisa dibuktikan dari buku-buku filsafat yang dikarang oleh al-Kindi lebih banyak mengarah pada buku-buku karangan Aristoteles.[2] Al-Kindi merupakan seorang Aristotelian, ia mengartikan filsafat sebagai pola pikir manusia untuk lebih mengetahui dirinya, dari pengertian tersebut al-Kindi berusaha lebih “mengetahui dirinya sendiri” yang kemudian ia jadikan sebagai cara atau alat untuk lebih mengetahui hal-hal yang sifatnya lebih besar, misalnya tentang lingkungan sekitarnya tempat ia berdiam, adat istiadat, alam ciptaan yang mana karenanya manusia diciptakan. Dari semua itu al-Kindi semata-mata bertujuan untuk lebih mengetahui bahwasanya di balik semua ini ada dzat yang merupakan pencipta atau penggagas keseluruhan di muka bumi yaitu Allah SWT.[3]
Filsafat al-Kindi juga mengarah kepada al-Ilmu al-Insani Wa Ilmu al-Ilâhi, yang mana bagi al-Kindi filsafat merupakan segala upaya untuk menyerupai segala perbuatan Tuhan sesuai dengan batas kemampuan manusia. Sehingga dari pengertian tersebut al-Kindi mengatakan bahwa seorang filosof adalah sosok yang menjadikan kesempurnaan dan kemuliaan Tuhan sebagai contoh atau sandaran utama. Dengan demikian seorang filosof berusaha sekuat tenaga untuk menyerupai keutamaan dan keunggulan Tuhan sehingga pada akhirnya mereka menjadi manusia sempurna/supermen (manusia super).
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Kindi merupakan filosof yang mengatakan bahwa filsafat adalah larutan pewarna agama yang dengan demikian secara sekilas ada korelasi atau keterkaitan antara agama dan filsafat. Pola filsafat al-Kindi yang menyatukan antara agama dan filsafat, senada dengan filosof yunani yaittu Aresto.[4]
Al-Kindi dikatakan mengikuti aliran Aresto dikarenakan Aresto pernah mengatakan bahwa "keutamaan atau al-fadilah telah nampak atau ma'ruf(diketahui). Aresto mengatakan bahwa kita tercipta untuk melakukan kebenaran secara terus-menerus jika kita mengetahui kebenaran itu. Sehingga dalam pola pandang tersebut Aresto lebih memiliki kesamaan dengan para filosof terdahulunya (socrates dan plato) dari perpektif "kebaikan".[5]
Para ahli hukum Arab juga menyatakan bahwasanya al-Kindi juga termasuk seorang mutakallimin. Hal itu dikarenakan tujuan filsafat al-Kindi sebagai wasilah atau media untuk mengetahui alam metafisika yaitu sang pencipta. Yang mana hal itu senada dengan tujuan para mutakallimin yang membahas tentang wujud Tuhan dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut tentu menunjukkan pada keagungan dan keutamaan Tuhan.[6]
Selanjutnya yaitu al-Farabi yang merupakan al-Muallim al-Tsani yang mempunyai nama lengkap Abu Nasr al-Faraby. Al-farabi memaknai filsafat sebagai ilmu yang mengkaji tentang alam fisika sebagaimana keberadaannya. Ia juga mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah untuk mengetahui Tuhan sebagai Dzat yang Esa dan tidak digerakkan dan Tuhan merupakan sebab utama bagi segala sesuatu. Filsafat al-Farabi sedikit banyak dipengaruhi oleh Aresto yang mana ia juga mengatakan bahwa adanya Tuhan adalah yang menggerakkan dan tidak digerakan, dalam hal ini filsafat al-Farabi lebih ditekankan pada disiplin ilmu filsafat (analisis filsafat).
Filosof ketiga dari filosof masa pertengahan adalah Ibnu Shina, yaitu sekitar tahun 370H, ia terkenal dengan sebutan "al-syeikh al-raîs". Ibnu Sina memaknai filsafat sebagai kreativitas pemikiran yang denganya manusia memperoleh berbagai pengetahun tentang dirinya. Sehingga dengan pengetahui dirinya tersebut manusia bisa menentukan segala amal perbuatan yang seharusnya ia lakukan untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang mulia, logis sesuai dengan alam fisika dan menyiapkan diri untuk meraih kebahagian di akhirat sesuai dengan batas kemapuan manusia. Dengan pengertian tersebut, maka Ibnu Sina adalah seorang filosof yang berusaha menyatukan antara analisa filsafat dan aplikasinya[7].
Setelah jauh membahas sejarah dan perkembangan filsafat Islam Klasik dari tiga filosof Arab yaitu al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Shina, maka selayaknya untuk melirik sekilas tentang perkembangan filsafat Islam kontemporer yang merupakan fase atau periode ketiga dari sejarah filsafat secara umum.
Filsafat Islam kontemporer tidak seperti filsafat Islam klasik, dikerenakan para pemikir tidak begitu intens dalam perkembangannya dan terlena dengan keilmuan yang lain, dikarenakan filsafat sudah berkembang dan Islam juga telah mencapai masa keemasan pada zaman al-Kindi dan seterusnya. Jadi para pemikir Islam merasa tidak perlu untuk melestarikan kembali apa yang pernah menjadi kegemilangannya kala itu. Adapun sebab lain dikarenakan filsafat Islam telah mengalami perluasan pembahasan rangkulan hingga menjadi 10 pembahasan. Dari pembahasan-pembahasan tersebut tidak bisa menspesifikasikan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu atau pola pikir tersendiri.
Filsafat Islam kontemporer kurang lebihnya dimulai antara sebelum dan sesudah tahun baru Islam, hal tersebut diisyaratkan akan lahirnya pergerakan kelompok salafi di bawah naungan Abdullah Ibn Wahhab tahun(1703-1791) di sebuah daerah yang menyerupai daerah Arab, yang mana Aqidah Islamiyah menjadi alasan waktu itu bagi perkembangan filsafat Islam kontemporer yang mana daerah tersebut masih cukup marak akan adanya syirik dan penyembahan berhala disebabkan kebodohan yang menyelimuti. Dari sanalah berkembanglah pembaharuan disegala bidang termasuk juga bidang politik dan pembenahan ilmu tauhid di daerah tersebut.
Akan tetapi jika ditinjau dari sejarah Islam di masa sekarang, maka awal kembalinya filsafat Islam kontemporer yaitu ketika Prancis menyerbu Syam dan Mesir pada tahun(1798-1801), yang mana dari penyerbuan tersebut lahirlah masa yaitu al-marhalah as-Sâbiqah sekitar 500 tahun, yang mana kaum muslimin sudah mulai berkembang dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya secara menyeluruh. Dan selanjutnya al-Marhalah at-Tâliyah yaitu ketika perancis mengedakan penyerangan terhadap Syam dan Mesir, yang bisa di istimewakan dari marhalah tersebut adalah adanya sebuah pergerakan yang lahir dari rahimnya.[8]
Di samping pergerakan pembaharuan yang di prakarsai Abdullah ibn Wahhab dan penyerbuan Prancis ke Syam dan Misr yaitu dampak kebudayaan dari peperangan melawan Prancis. Dari dampak tersebut adalah lahirnya pergerakan Islam yang melawan pihak sekuler dan berupaya bertetap hati untuk kembali pada kebangkitan.
Sedangkan filsafat Islam kontemporer di Mesir dipengaruhi dengan datangnya Muhammad Abduh setelah menimba ilmu dari Sourbonne Unirversity di Prancis. Muhammad abduh merasa Barat di karenakan pada abad ke-sembilan masehi merupakan masa kegemilangan Barat. Abduh ingin mengambil kembali apa yang menjadi miliknya. Dan dia ingin menerapkan dan mengkaji filsafat dengan lebih intens. Di samping Abduh juga ada Rif’at al-Tahtawi yang dikenal sebagai pemimpin agama al-Imam al-Dini di awal pembebasan Mesir dan Perancis. Tahtawi yang dikenal begitu menguasai bahasa Prancis maka dari sana dia menganggap akan pentingnya penerjamahan bahasa perancis ke dalam bahasa Arab, hal ini bukan hanya tertuju pada buku-buku Filsafat akan tetapi dalam segala bidang, hanya penekanannya lebih pada filsafat.
Di samping mereka juga ada Ali Mubarak sekalipun ia sendiri lebih dikenal sebagai peletak ilmu politik daripada filsafat itu sendiri. Buku karangannya yang terkenal( al-Khutut at-Taufîqiyah, riwâyah ilmu al-Dîn) yang kemudian dijadikan rujukan dalam bidangnya.
Banyak hal yang dilakukan para pemikir Islam untuk menjayakan kembali filsafat dan dijadikan sebagai ilmu yang bebas dipelajari siapapun, adapun cara-cara mereka yaitu dengan menterjemahkan buku bahasa asing ke dalam bahasa Arab, mengkaji kembali turots-turots yang sempat ditinggalkan, memperbanyak mencetak buku-buku yang berhubungan dengan filsafat, memasukkan ke dalam sekolah-sekolah sebagai mata pelajaran yang sama seperti materi yang lain. Banyak hal yang di lakukan pemikir kita untuk kembali menjayakan filsafat Islam seperti pada masa keemasannya.[9]
Jika tadi Muhammad Abduh dan Rif’at Tahtawi mengambil filsafat dari Barat, berbeda dengan Mustafa Abdur Razik Dan Muhammad Iqbal yang mengembalikan filsafat Islam ke masa sekarang dengan menekankan pada perbedaan antara “Tamhid wa Tajdid” apa perbedaan mendasar antara dua hal tersebut?
Mustofa Abdur Raziq berpendapat bahwasanya filsafat Islam yang ada sekarang yang mana lebih dikenal dengn istilah kontemporer merupakan Tamhid, hal tersebut dikarenakan kita mengawali kembali sejarah filsafat Islam disebabkan adanya pertentangan antara islam dan Barat, jika Barat lebih menitikberatkan pemikirannya pada al-Aqlu yang mendominasi setiap langkah perjalanan dan pemikiran mereka, akan tetapi Islam menurut Abdur Raziq lebih ditekankan pada agama yang merupakan petunjuk bagi umatnya.
Berbeda dengan Muhammad Ikbal, bahwasanya pengembalian filsafat Islam kontemporer lebih pada Al-tajdid, hal ini dikerenakan mulai dari awal perkembangannya para pemikir tidak pernah setuju untuk merealisasikan kembali filsafat, oleh karenanya bagi Iqbal ini adalah Tajdid karena adanya filsafat Islam kontemporer adalah pembenahan atau perubahan dari filsafat sebelumnya. Sebagaimana dalam bukunya yang diterjemah oleh Ust. Abbas Mahmud 1955, judulnya Tajdîdu al-Tafkîr al-Dîni fî al-islam(Reconstruction of Relgious Thought in Islam)[10]
Epilog
Begitulah gambaran sekilas tentang filsafat Islam, sebenarnya pembahasan filsafat sangatlah panjang, dikarenakan perjalan kita terbatas oleh ruang dan waktu mungkin hanya sekelumit yang penulis hidangkan kali ini, insyaAllah di lain kesempatan bisa berbagi kembali. Dalam membahas filsafat Islam sepertinya membutuhkan beberapa fase agar lebih lengkap dan luas. Hanya lantunan doa-doa tulus yang terangkai lewat gesekan tasbih semoga apa yang disampaikan bisa membawa manfaat bagi siapapun dimanapun berada. Tiada lantunan kata suci selain terimakasih pada-Nya karena telah menjadikan hambanya mampu menjalankan apapun. Akhirnya, inilah saya apa adanya. Thanks for everythink.
Nurul Fajariyah Abbasi
Islamic Law Faculty of al-Azhar University
[1] Lihat: Imam Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan Al-Laqani Arjûzah Jauhâratu Al-Tauhid, maktabah Darussaadah Cairo, hal 127. tt
[2] Lihat: Dr. Muhammad Luthfi Jumah Târîkh Falâsifah Islam, maktabah Âlimul Kutub Cairo, tahun 1999, hal: 2&7.
[3] Lihat: Dr. Ali Mu'abbid Furghali, Dr., Abdul Maqsud Hamid Abdul Maqsud, dirâsât fî al-falsafah al-'âmah, tanpa tahun, hal: 85-86. tt
[4] Lihat: Dr. Hasan Hanafi, Min Al-Naqli Ila Al-Ibdâ’, Dâru Qubâ Cairo, tahun 2001, hal: 283.
[5] Lihat: S. M., Bawra, diterjemah Muhammad Ali zaid dkk, al-Adab al-yûnânî al-Qadîm Dar al-Misr al-Qâhirah, ttn, hal. 118
[6]Lihat: Dr. Muhammad Luthfi Jumah, op cit, hal: 15
[7]Lihat: Dr. Ali Mu'abbid Furghali, Dr. Abdul Maqsud Hamid Abdul Maqsud, op cit, hal: 86-87
[8] Lihat: Dr. Hamid Thahir, Al-Falsafatul Islâmiyah fi Al-Ashri Al-Hadîst, Nahdlah Misr, cet. 1 Oktober tahun 2005, hal: 14-16
[9] Ibid, hal: 24
[10] Ibid, hal: 41-42
Perjalanan hidup manusia layaknya sebuah kapal yang akan selalu berbenturan dengan realita. Tak jarang realita tersebut membutuhkan banyak energi sehingga memaksa kita untuk terus bertahan di tengah-tengah badai. Badai dan ombak senantiasa menemani langkah perjalanan kehidupan. Oleh karena pentingnya ilmu pengetahuan sebagai penuntun bagi manusia agar tidak buta menghadapi kerasnya hidup.
Kalau ditinjau dari segi gramatikalnya, maka filsafat itu merupakan disiplin ilmu yang telah ada dan berkembang mulai manusia mengenal Tuhan. Karena maksud dari filsafat itu sendiri bisa diartikan sebagai cara atau alat dalam mengenal Tuhan. Sekalipun di sana Ibnu Arabi mengartikan filsafat sebagai ilmu atau jalan untuk lebih mengenal Tuhan dari bentuk yang nyata( wujud), sedangkan ilmu kalam menurutnya merupakan jalan untuk mengenal Tuhan dari segala segi yaitu sifat-sifat Tuhan secara mendalam. Itulah pernyataan Ibnu Arabi ketika dia mengkorelasikan antara ilmu kalam dan filsafat.
Jadi, jika memaknai filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu, maka hukum mempelajarinya adalah wajib sebagaimana ilmu-ilmu yang lain. Akan tetapi jika memaknai filsafat sebagai sebuah bentuk pola pikir, maka dalam mempelajarinya harus bisa memilah dan memilih serta mengkondisikan dengan nilai keimanan yang ada. Karena pola pikir lebih mengedepankan logika akal daripada teks al-Quran atau hadis.
Sebagaimana Mu’tazilah yang menganggap bahwa tidak perlu ada nabi dan rosul sebagai utusan Tuhan kepada manusianya, dikarenakan ia memakai akal sebagai inti dari semua perbuatan. Bagi Mu’tazilah akal sangatlah cukup dalam menuntun perjalanan manusia. Jika bagi akal baik maka hal itu akan pasti ditinggalkan. Dan jika bertentangan dengan akal maka barang tentu akan menolaknya. Jadi apa arti seorang utusan jika akal bisa mengorder semuanya.[1] Begitu pulalah Mu’tazilah menganggap filsafat sebagai cara kerja akal dalam memahami keesaan Tuhannya
Kenapa penulis menyandingkan antara filsafat sebagai disiplin ilmu dengan filsafat sebagai pola pikir? Karena dari sanalah mungkin kita mengenal dan mendengar tentang filsafat. Filsafat sebagai disiplin ilmu dikarenakan ajarannya yang menyuruh kita untuk berpikir lebih dalam tentang Tuhan itu sendiri yang merupakan wihdatul wujud, dan ilmu filsafat tersebut erat kaitannya dengan ilmu tauhid. Yang mana cukup jelas bagi kita bahwasanya tauhid merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tentang keesaan Tuhan dan keimanan kepadanya. Dari sini sudah cukup jelas bahwasanya filsafat sebagai disiplin ilmu tidak perlu lagi diperdebatkan, karena ilmu yang mengarah pada pembentukan keimanan dan penguatan hati merupakan ilmu yang menuntun kita untuk lebih memaknai kehidupan dunia yang fana menuju akhirat yang
kekal.
Akan tetapi kalau kita memantau, memperhatikan dan bahkan menyimpulkan bahwasanya filsafat sebagai pola pikir. Dalam hal ini mempelajari apalagi mendalaminya diharapkan disesuaikan dengan kemampuan daya pikir dan tingkat pendekatan diri pada-Nya. Karena banyak kelompok yang memiringkan makna filsafat itu sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu yang membawa kita lebih dekat kepada sang kholiq.
Dalam makalah kali ini penulis akan memaparkan perbandingan filsafat Islam klasik dengan kontemporer. Yang mana filsafat Islam klasik merupakan sejarah awal perjalanan filsafat Islam, yang darinya ia sempat menjadikan Islam sebagai kiblat keilmuan dalam bidangnya, yaitu pada masa keemasan filsafat Islam klasik pada masa mulai dari al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina.
Filsafat pada masa Islam merupakan filsafat abad pertengahan karena filsafat telah di awali oleh Aresto dari Yunani. Dan fase setelah Islam merupakan perjalanan filsafat kontemporer.
Filsafat Islam Klasik vs Filsafat Islam Kontemporer
Kita ketahui bersama bahwasanya filsafat di bagi tiga periode, periode pertama yang merupakan awal munculnya filsafat yaitu berasal dari Yunani, karena di sana terdapat beberapa orang yang cenderung menggunakan otak sebagai landasan berpikir. Tokoh-tokohnya seperti Socrates, Plato dan Aresto.
Periode kedua yang merupakan masa pertengahan adalah filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai berkembang pada masa al-Kindy pada tahun 1985, yang mana menurut Sulaiman Hasan bahwasanya tidak ada seorangpun filosof Islam kecuali al-Kindi, karena baginya ia merupakan seorang filosof pertama dalam Islam begitu juga merupakan filosof Arab pertama. Dalam pengembangan filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah Aresto. Hal itu bisa dibuktikan dari buku-buku filsafat yang dikarang oleh al-Kindi lebih banyak mengarah pada buku-buku karangan Aristoteles.[2] Al-Kindi merupakan seorang Aristotelian, ia mengartikan filsafat sebagai pola pikir manusia untuk lebih mengetahui dirinya, dari pengertian tersebut al-Kindi berusaha lebih “mengetahui dirinya sendiri” yang kemudian ia jadikan sebagai cara atau alat untuk lebih mengetahui hal-hal yang sifatnya lebih besar, misalnya tentang lingkungan sekitarnya tempat ia berdiam, adat istiadat, alam ciptaan yang mana karenanya manusia diciptakan. Dari semua itu al-Kindi semata-mata bertujuan untuk lebih mengetahui bahwasanya di balik semua ini ada dzat yang merupakan pencipta atau penggagas keseluruhan di muka bumi yaitu Allah SWT.[3]
Filsafat al-Kindi juga mengarah kepada al-Ilmu al-Insani Wa Ilmu al-Ilâhi, yang mana bagi al-Kindi filsafat merupakan segala upaya untuk menyerupai segala perbuatan Tuhan sesuai dengan batas kemampuan manusia. Sehingga dari pengertian tersebut al-Kindi mengatakan bahwa seorang filosof adalah sosok yang menjadikan kesempurnaan dan kemuliaan Tuhan sebagai contoh atau sandaran utama. Dengan demikian seorang filosof berusaha sekuat tenaga untuk menyerupai keutamaan dan keunggulan Tuhan sehingga pada akhirnya mereka menjadi manusia sempurna/supermen (manusia super).
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Kindi merupakan filosof yang mengatakan bahwa filsafat adalah larutan pewarna agama yang dengan demikian secara sekilas ada korelasi atau keterkaitan antara agama dan filsafat. Pola filsafat al-Kindi yang menyatukan antara agama dan filsafat, senada dengan filosof yunani yaittu Aresto.[4]
Al-Kindi dikatakan mengikuti aliran Aresto dikarenakan Aresto pernah mengatakan bahwa "keutamaan atau al-fadilah telah nampak atau ma'ruf(diketahui). Aresto mengatakan bahwa kita tercipta untuk melakukan kebenaran secara terus-menerus jika kita mengetahui kebenaran itu. Sehingga dalam pola pandang tersebut Aresto lebih memiliki kesamaan dengan para filosof terdahulunya (socrates dan plato) dari perpektif "kebaikan".[5]
Para ahli hukum Arab juga menyatakan bahwasanya al-Kindi juga termasuk seorang mutakallimin. Hal itu dikarenakan tujuan filsafat al-Kindi sebagai wasilah atau media untuk mengetahui alam metafisika yaitu sang pencipta. Yang mana hal itu senada dengan tujuan para mutakallimin yang membahas tentang wujud Tuhan dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya tersebut tentu menunjukkan pada keagungan dan keutamaan Tuhan.[6]
Selanjutnya yaitu al-Farabi yang merupakan al-Muallim al-Tsani yang mempunyai nama lengkap Abu Nasr al-Faraby. Al-farabi memaknai filsafat sebagai ilmu yang mengkaji tentang alam fisika sebagaimana keberadaannya. Ia juga mengatakan bahwa tujuan filsafat adalah untuk mengetahui Tuhan sebagai Dzat yang Esa dan tidak digerakkan dan Tuhan merupakan sebab utama bagi segala sesuatu. Filsafat al-Farabi sedikit banyak dipengaruhi oleh Aresto yang mana ia juga mengatakan bahwa adanya Tuhan adalah yang menggerakkan dan tidak digerakan, dalam hal ini filsafat al-Farabi lebih ditekankan pada disiplin ilmu filsafat (analisis filsafat).
Filosof ketiga dari filosof masa pertengahan adalah Ibnu Shina, yaitu sekitar tahun 370H, ia terkenal dengan sebutan "al-syeikh al-raîs". Ibnu Sina memaknai filsafat sebagai kreativitas pemikiran yang denganya manusia memperoleh berbagai pengetahun tentang dirinya. Sehingga dengan pengetahui dirinya tersebut manusia bisa menentukan segala amal perbuatan yang seharusnya ia lakukan untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang mulia, logis sesuai dengan alam fisika dan menyiapkan diri untuk meraih kebahagian di akhirat sesuai dengan batas kemapuan manusia. Dengan pengertian tersebut, maka Ibnu Sina adalah seorang filosof yang berusaha menyatukan antara analisa filsafat dan aplikasinya[7].
Setelah jauh membahas sejarah dan perkembangan filsafat Islam Klasik dari tiga filosof Arab yaitu al-Kindi, al-Farabi dan Ibnu Shina, maka selayaknya untuk melirik sekilas tentang perkembangan filsafat Islam kontemporer yang merupakan fase atau periode ketiga dari sejarah filsafat secara umum.
Filsafat Islam kontemporer tidak seperti filsafat Islam klasik, dikerenakan para pemikir tidak begitu intens dalam perkembangannya dan terlena dengan keilmuan yang lain, dikarenakan filsafat sudah berkembang dan Islam juga telah mencapai masa keemasan pada zaman al-Kindi dan seterusnya. Jadi para pemikir Islam merasa tidak perlu untuk melestarikan kembali apa yang pernah menjadi kegemilangannya kala itu. Adapun sebab lain dikarenakan filsafat Islam telah mengalami perluasan pembahasan rangkulan hingga menjadi 10 pembahasan. Dari pembahasan-pembahasan tersebut tidak bisa menspesifikasikan filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu atau pola pikir tersendiri.
Filsafat Islam kontemporer kurang lebihnya dimulai antara sebelum dan sesudah tahun baru Islam, hal tersebut diisyaratkan akan lahirnya pergerakan kelompok salafi di bawah naungan Abdullah Ibn Wahhab tahun(1703-1791) di sebuah daerah yang menyerupai daerah Arab, yang mana Aqidah Islamiyah menjadi alasan waktu itu bagi perkembangan filsafat Islam kontemporer yang mana daerah tersebut masih cukup marak akan adanya syirik dan penyembahan berhala disebabkan kebodohan yang menyelimuti. Dari sanalah berkembanglah pembaharuan disegala bidang termasuk juga bidang politik dan pembenahan ilmu tauhid di daerah tersebut.
Akan tetapi jika ditinjau dari sejarah Islam di masa sekarang, maka awal kembalinya filsafat Islam kontemporer yaitu ketika Prancis menyerbu Syam dan Mesir pada tahun(1798-1801), yang mana dari penyerbuan tersebut lahirlah masa yaitu al-marhalah as-Sâbiqah sekitar 500 tahun, yang mana kaum muslimin sudah mulai berkembang dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya secara menyeluruh. Dan selanjutnya al-Marhalah at-Tâliyah yaitu ketika perancis mengedakan penyerangan terhadap Syam dan Mesir, yang bisa di istimewakan dari marhalah tersebut adalah adanya sebuah pergerakan yang lahir dari rahimnya.[8]
Di samping pergerakan pembaharuan yang di prakarsai Abdullah ibn Wahhab dan penyerbuan Prancis ke Syam dan Misr yaitu dampak kebudayaan dari peperangan melawan Prancis. Dari dampak tersebut adalah lahirnya pergerakan Islam yang melawan pihak sekuler dan berupaya bertetap hati untuk kembali pada kebangkitan.
Sedangkan filsafat Islam kontemporer di Mesir dipengaruhi dengan datangnya Muhammad Abduh setelah menimba ilmu dari Sourbonne Unirversity di Prancis. Muhammad abduh merasa Barat di karenakan pada abad ke-sembilan masehi merupakan masa kegemilangan Barat. Abduh ingin mengambil kembali apa yang menjadi miliknya. Dan dia ingin menerapkan dan mengkaji filsafat dengan lebih intens. Di samping Abduh juga ada Rif’at al-Tahtawi yang dikenal sebagai pemimpin agama al-Imam al-Dini di awal pembebasan Mesir dan Perancis. Tahtawi yang dikenal begitu menguasai bahasa Prancis maka dari sana dia menganggap akan pentingnya penerjamahan bahasa perancis ke dalam bahasa Arab, hal ini bukan hanya tertuju pada buku-buku Filsafat akan tetapi dalam segala bidang, hanya penekanannya lebih pada filsafat.
Di samping mereka juga ada Ali Mubarak sekalipun ia sendiri lebih dikenal sebagai peletak ilmu politik daripada filsafat itu sendiri. Buku karangannya yang terkenal( al-Khutut at-Taufîqiyah, riwâyah ilmu al-Dîn) yang kemudian dijadikan rujukan dalam bidangnya.
Banyak hal yang dilakukan para pemikir Islam untuk menjayakan kembali filsafat dan dijadikan sebagai ilmu yang bebas dipelajari siapapun, adapun cara-cara mereka yaitu dengan menterjemahkan buku bahasa asing ke dalam bahasa Arab, mengkaji kembali turots-turots yang sempat ditinggalkan, memperbanyak mencetak buku-buku yang berhubungan dengan filsafat, memasukkan ke dalam sekolah-sekolah sebagai mata pelajaran yang sama seperti materi yang lain. Banyak hal yang di lakukan pemikir kita untuk kembali menjayakan filsafat Islam seperti pada masa keemasannya.[9]
Jika tadi Muhammad Abduh dan Rif’at Tahtawi mengambil filsafat dari Barat, berbeda dengan Mustafa Abdur Razik Dan Muhammad Iqbal yang mengembalikan filsafat Islam ke masa sekarang dengan menekankan pada perbedaan antara “Tamhid wa Tajdid” apa perbedaan mendasar antara dua hal tersebut?
Mustofa Abdur Raziq berpendapat bahwasanya filsafat Islam yang ada sekarang yang mana lebih dikenal dengn istilah kontemporer merupakan Tamhid, hal tersebut dikarenakan kita mengawali kembali sejarah filsafat Islam disebabkan adanya pertentangan antara islam dan Barat, jika Barat lebih menitikberatkan pemikirannya pada al-Aqlu yang mendominasi setiap langkah perjalanan dan pemikiran mereka, akan tetapi Islam menurut Abdur Raziq lebih ditekankan pada agama yang merupakan petunjuk bagi umatnya.
Berbeda dengan Muhammad Ikbal, bahwasanya pengembalian filsafat Islam kontemporer lebih pada Al-tajdid, hal ini dikerenakan mulai dari awal perkembangannya para pemikir tidak pernah setuju untuk merealisasikan kembali filsafat, oleh karenanya bagi Iqbal ini adalah Tajdid karena adanya filsafat Islam kontemporer adalah pembenahan atau perubahan dari filsafat sebelumnya. Sebagaimana dalam bukunya yang diterjemah oleh Ust. Abbas Mahmud 1955, judulnya Tajdîdu al-Tafkîr al-Dîni fî al-islam(Reconstruction of Relgious Thought in Islam)[10]
Epilog
Begitulah gambaran sekilas tentang filsafat Islam, sebenarnya pembahasan filsafat sangatlah panjang, dikarenakan perjalan kita terbatas oleh ruang dan waktu mungkin hanya sekelumit yang penulis hidangkan kali ini, insyaAllah di lain kesempatan bisa berbagi kembali. Dalam membahas filsafat Islam sepertinya membutuhkan beberapa fase agar lebih lengkap dan luas. Hanya lantunan doa-doa tulus yang terangkai lewat gesekan tasbih semoga apa yang disampaikan bisa membawa manfaat bagi siapapun dimanapun berada. Tiada lantunan kata suci selain terimakasih pada-Nya karena telah menjadikan hambanya mampu menjalankan apapun. Akhirnya, inilah saya apa adanya. Thanks for everythink.
Nurul Fajariyah Abbasi
Islamic Law Faculty of al-Azhar University
[1] Lihat: Imam Ibrahim ibn Ibrahim ibn Hasan Al-Laqani Arjûzah Jauhâratu Al-Tauhid, maktabah Darussaadah Cairo, hal 127. tt
[2] Lihat: Dr. Muhammad Luthfi Jumah Târîkh Falâsifah Islam, maktabah Âlimul Kutub Cairo, tahun 1999, hal: 2&7.
[3] Lihat: Dr. Ali Mu'abbid Furghali, Dr., Abdul Maqsud Hamid Abdul Maqsud, dirâsât fî al-falsafah al-'âmah, tanpa tahun, hal: 85-86. tt
[4] Lihat: Dr. Hasan Hanafi, Min Al-Naqli Ila Al-Ibdâ’, Dâru Qubâ Cairo, tahun 2001, hal: 283.
[5] Lihat: S. M., Bawra, diterjemah Muhammad Ali zaid dkk, al-Adab al-yûnânî al-Qadîm Dar al-Misr al-Qâhirah, ttn, hal. 118
[6]Lihat: Dr. Muhammad Luthfi Jumah, op cit, hal: 15
[7]Lihat: Dr. Ali Mu'abbid Furghali, Dr. Abdul Maqsud Hamid Abdul Maqsud, op cit, hal: 86-87
[8] Lihat: Dr. Hamid Thahir, Al-Falsafatul Islâmiyah fi Al-Ashri Al-Hadîst, Nahdlah Misr, cet. 1 Oktober tahun 2005, hal: 14-16
[9] Ibid, hal: 24
[10] Ibid, hal: 41-42
0 comments:
Post a Comment