Bara, Nada, Rokok dan Fashion

Sunday, December 21, 2008


Langit mendung semendung hatiku. Terus kuberjalan menelusuri lorong labirin yang aku sendiri tak tahu sampai di mana akhirnya. Tatapan sinis makhluk-makhluk berantakan dengan wajah bringas dan menakutkan selalu menghantui. Tak jarang kudapati sosok seperti mereka di sepanjang perjalanan ini. Ada tiga jalan terbentang di depan mata. Aku lebih memilih jalan lurus daripada berbelok. Biarkan aku terus mencari akhir dari lorong-lorong lusuh berdebu sekalipun aku sendiri tahu, dengan berbelok akan ada jawaban di sana.
Pikiranku terbawa menelusuri kejadian beberapa tahun silam. Di tempat ini. Di lorong-lorong busuk menyeramkan ini. Ku dapati segerombolan makhluk yang aku tak tahu darimana asalnya. Wajah menyeramkan dengan baju dan celana serba hitam. Sedikit goresan bekas luka di wajah dan tangannya, yang aku yakini sebagai pentolan mereka. Karena keberadaanku mereka tersentak kaget dan menghentikan negosiasi barang-barang haramnya. Tatapanku sinis. Ada rasa kesal dan membuncah dalam diri. Ternyata masih ada orang seperti mereka di negeri kelahiran nabi-nabi ini. Harus kembali ku temui segerombolan anak muda yang lebih tepatnya hanya perusak bangsa daripada generasi muda bangsa. Terus ku perhatikan mereka dengan tatapan yang menantang. Mungkin mereka kesal ada seorang ajnabi[1] seperti aku. Satu kosong, karena aku tahu mereka tidak akan mengejarku. Dengan aksi mereka yang tertangkap basah olehku, apa masih sanggup mereka mengejarku? Kalau akhir urusannya dengan polisi mereka juga yang susah. Sekarang ini tersimpan serbuk-serbuk laknat di kantong jaket dan celana mereka.
Tidak begitu banyak manusia berlalu-lalang, hanya beberapa gerombolan yang hidupnya memang di waktu malam. Malam sudah menunjukkan lebih dari sepertiganya. Di musim dingin seperti saat ini, siapapun akan memilih terlelap dalam selimut tebalnya daripada berlalu lalang di luar. Udara di luar lumayan dingin sekitar 18 derajat, dan di malam yang semalam sekarang ia akan terlihat berasap seakan berupa kepulan kabut tebal.
Jarak satu meter kembali ada belokan, tiba-tiba melintas seorang wanita dengan perawakan dan penampilan Asia. Siapakah ia? Malam yang bagi laki-laki saja sangat berbahaya apalagi wanita? Ku potong jalannya melingkar, hingga aku bisa mendahuluinya.
“Nada.” Pekikku.
Ternyata ia istriku. Dia yang ku tinggalkan tadi karena menolak melayaniku. Aku yang memilih pergi berjalan menelusuri bangunan yang tersususn laksana kerdus. Dan dia. Aku tak tahu kemana dan dari mana dia dan apa yang dia kerjakan.
Dia tak menghiraukan panggilanku. Dia melenggeng pergi berlalu seakan tanpa beban.
“Apa pantas seorang istri keluyuran malam tanpa suami?”
Sekali lagi tak dia hiraukan teriakanku. Langkah kakinya cepat tapi gontai. Seakan tak tahu apa yang sedang ada dalam pikirannya.
Aku menariknya paksa. Dia menepis tarikan tanganku. Tak sengaja aku menamparnya. Ia, aku menampar istriku sendiri yang sudah bertahun-tahun menemaniku. Tapi yang lebih kaget. Ia tetap terdiam tanpa ekspresi. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?
Ku biarkan ia pergi. Kami memilih jalan masing-masing.
Lelah kuperhatikan jalanan. Penat di badan semakin menyengat. Tak terasa tiga bungkus rokok A mild dan sebotol wiski kecil lenyap di tanganku. Ku belokkan kaki ke arah rumah. Ingin ku baringkan badan. Tapi tiba-tiba di depanku, kudapati sosok Nada lagi. Akan tetapi dengan pakaian yang berbeda. Ku cegah ia kembali dengan jalan memutar seperti semula.
“Nada.” Pekikku semakin keras.
Tetap tak dia hiraukan. Jalannya semakin cepat setengah berlari. Ku hampiri dia. Ku tarik tangannya. Ia menepisku kuat. Melihatku sesaat, kemudian berlari kencang. Kesusahan untuk aku mengejarnya. Ku biarkan ia. Jarak rumahku semakin dekat. Kemarahanku pada Nada istriku memuncak di ubun-ubun. Kesusahan aku mencari kunci rumah. Dan kesusahan pula aku membukanya.
“Aaghh.” Teriakku setelah menutup pintu kembali.
“Nada, di mana kau? Aku terus berteriak dengan gontai dan langkah seakan terseok terus mencarinya. Aku mendapati tubuhnya terbangun setelah aku terjatuh di sampingnya. Lamat-lamat ku dengar ia memanggilku. Dan aku sudah terbang bersama peri-peri cantik titisan syurga.
Pagi telah pergi meninggalkan manusia yang masih bermalasan sepertiku. Eloknya embun dan segarnya udara pagi tak bisa ku rasakan. Sebenarnya, Tuhan begitu agung menciptakan kesejukan pagi. Tapi, bagi manusia sepertiku akan lebih enak terlelap daripada merasakan keagungan Tuhan. Badanku lemas. Kepalaku pusing. Kesusahan bagiku untuk sekedar duduk terbangun. Kembali kuterka peristiwa semalam sebelum aku bercengkrama bersama peri-peri kecil itu. Iya. Ada yang hilang sekarang. Ada yang kurang bagiku. Setiap aku terbangun, aku berharap ia di sampingku. Atau ia mengucapkan selamat pagi atau siang untukku. Atau ia menyediakan sarapan yang lebih tepatnya makan siang buatku. Iya. Nada hilang dari sisiku. Iya pergi meninggalkanku yang masih lusuh dan kumal. Kemana dia?
Aku memilih untuk tetap berbaring dan menunggunya di tempat tidur. Jarum jam terus bergulir. Hari sudah hampir menginjak sore. Dan sebentar lagi malampun akan menyelimuti. Badanku tetap lemas. Mungkin ini akibat alkohol di campur rokok. Alkohol yang sebelumnya belum pernah aku konsumsi. Dan semalam, aku menghabiskan sebotol minuman haram itu. Efeknya benar-benar menggangguku. Membunuh aktifitas seharianku. Lambat laun ku coba terbangun dan melangkah. Namun terasa berat.
“Any body home?”
“Hwahwahwa.” Ketawa mereka menggelegar bersamaan.
Siapa mereka? Aku mencoba menerka siapa yang bersama Nada. Dan aku kembali menerka apa yang terjadi di luar sana.
Kemarahanku memuncak padanya. Tidakkah dia merasa memiliki aku suaminya? Ingin aku berlari memarahinya. Tapi badanku masih lemas. Tiba-tiba pintu tertutup dengan kencangnya layaknya di terpa angin topan.
Mataku beradu dengan matanya. Seulas senyum yang terbingkis dari bibirnya berubah masam. Begitupun aku yang begitu geram menatapnya.
“Dari mana kamu?” tanyaku dengan teriakan sinis padanya
“Biasa shoping.” Jawabnya tanpa beban.
“Shoping? Istri seperti apa yang membiarkan suaminya terkapar di rumah? Aku membantahnya tambah geram.
Dia hanya bolak-balik sambil mencoba beberapa jenis pakaian dan aksesoris yang baru dia beli. Ingin rasanya aku berlari dan membuang semua barang-barang belanjaan dia. Tapi ku tak mampu. Aku hanya berteriak sambil berbaring. Berharap dia mengerti akan kondisiku.
“Nada.” Pekikku tambah keras.
Tiba-tiba dia mendekat menghampiri tempatku berbaring.
“Suami macam apa kamu? Suami yang setiap istrinya menolak bercinta selalu pergi dengan menghabiskan berbungkus-bungkus rokok. Bahkan mabuk seperti semalam. Suami yang tidak memikirkan bahaya istri mengisap asap rokok setiap hari. Setelah bercinta kamu lebih memilih langsung merokok tanpa berpikir menemaniku, menyayangiku. Suami yang tak jarang melakukan kekerasan bila hasratnya tertahan. Sejak kapan kamu menelan minuman haram?” Cerocosnya tanpa henti.
“Suami yang hanya mementingkan nafsu sendiri tanpa memikirkan tugas dan tanggung jawabnya? Suami yang lebih memilih bermalas-malasan merokok seharian tanpa berusaha menghidupi keluarga. Aku menamparnya sebelum dia melanjutkan kata-katanya.
Berkali-kali aku menamparnya. Nada hanya menangis dan terdiam. Lalu pergi. Dengan sisa kekuatan yang ada aku mengejarnya. Menyeretnya kembali ke kamar. Membantingnya ke atas kasur. Dia tambah marah seakan nyeracau. Ingin aku kembali menamparnya. Tapi aku tak sampai hati terus menyakitinya. Lama-lama aku terdiam. Mungkin Nada ada benarnya. Dan sebenarnya aku juga kecewa terhadapnya. Dia bisa lupa akan wujudku kalau sedang shoping baju-baju model baru bersama teman-temannya. Tapi aku juga tidak boleh terlalu keras padanya. Ku pandangi Nada yang masih menangis dan berhenti dari makiannya. Dia menatapku. Dengan cepat kulayangkan ciuman tepat di bibirnya sebagai ungkapan maaf atas kesalahan-kesalahanku.




[1] Sebuah ungkapan bagi orang-orang non Kairo.

0 comments:

Blognya Ria Dunia Ria | Tanks To Blogger